Selasa, 27 Oktober 2009

Alur


Ingin berputar-putar sedikit.
Biarkan yang tersirat memahaminya dengan berlahan.
Agar tahu, kalau kata terbatas untuk berhadap.
Mungkin tak kan tahu, apa yang dimaksud.
Karena harap tertatih mundur dihinggap takut yang maju.
Benar atau yang lalu menyeretku?
Salah menafsir hingga tertampik..
Pilunya menghujam, tak berbekas tapi perih yang tersisa.
Cukup cerita.
Cukup prasangka.
Cukup fatamorgana.
Bangkit itu susah, apalagi menata.
Ku putuskan untuk lupa.

Hingga datang suatu waktu,

Kala bangunan kokoh berdiri dengan angkuh,
Bisa.
Bisa utuh.
Tak kenal rapuh.

Siap menyambut dengan lelucon.
Tak sadar ada hati yang bergetar.
Menghujat pikiran yang manja bersandar.
Terbahak seperti penguasa zalim.
Lantas, puas?
Hanya tertunduk, tapi bukan malu.

Keping-keping kerapuhan mulai runtuh.
Ternyata, wujud sebenarnya mulai menghakimi hingga luruh.
Maaf, aku bukan penguasa zalim.
Aku rakyat biasa dimana dendam mengikutiku.
Bila perlu, tangisku bersaksi.
Bahwa aku salah.
Aku kalah oleh waktu.

Tiba saatnya kini,

Kala bangunan kokoh berdiri dengan hormat.
Tetap utuh tapi tak angkuh.
Tak rapuh.
Tak ada lelucon.
Yang ada gurauan hangat.
Tersadar oleh waktu.

Cukup cerita.
Jangan ditambahkan lagi goresannya.
Tulisan itu sudah mulai tersamar.
Bilakah tersakiti.
Kata-kata di cerita itu kembali jelas.
Lalu, berganti punggung
Yang menatap dengan mata nanar.
Menjauh.
Pergi.
Dengan senyum terima kasih.


Bandar Lampung, 26 Oktober 2009













Tidak ada komentar:

Posting Komentar